Sabtu, 20 Apr 2024
  • Home
  • Opini
  • Benarkah Medan Menuju Metropolitan?

Benarkah Medan Menuju Metropolitan?

Selasa, 29 Sep 2015 08:31
Ilustrasi

Medan dalam perjalanan sehari-harinya senantiasa diiringi oleh berbagai jargon khas. Jika dirunut ke belakang, teringatlah kita dengan slogan macam "Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin. Esok Lebih Cerah dari Hari ini", lalu masih ada lagi "Bekerja sama dan sama-sama bekerja". Tapi yang paling tersohor dan cenderung melekat di pikiran khalayak luas di Medan tentu saja adalah "Medan Menuju Kota Metropolitan."

Tidak jelas benar mana sumber paling valid atau siapa pencetus jargon Medan yang disebutkan terakhir, meski kabarnya, ada buku yang berjudul demikian. Yang pastinya, sensasi angin sorga dari motto demikian masih saja diingat orang. Sekali lagi, hanya sensasinya, bukan realitanya.

Efek angin sorganya kira-kira seperti jargon Indonesia "siap lepas landas" yang kriterianya juga tidak jelas-jelas amat, entah itu dilihat dari PDB (Pendapatan Domestrik Bruto), pendapatan per kapita ataupun jumlah menara modern yang seolah sedang berebut mengoyak-ngoyak langit Jakarta. Tentang "siap lepas landas", yang pastinya Indonesia, hari ini, belum pernah diundang masuk ke Negara G-8 (yang mana kalau Indonesia masuk, harus menjadi G-9, karena jumlah partisipannya sudah 9 negara)

Siapapun tahu kalau Medan adalah kota terbesar ke-3 di Indonesia. Tapi, kalau hanya itu saja sudah merasa bangga, rasa-rasanya terlalu kerdil dan sebaiknya tidak perlu pula dipamerkan ke mana-mana. Memang itu starting point yang bagus daripada tidak ada sama sekali. Tapi, penulis tidak lantas pernah mendengar kalau-kalau Medan berlomba-lomba menggeser Surabaya sebagai kota terbesar ke-2 atau naga-naganya ada pembangunan infrastruktur yang kiranya bisa mendekati, jika belum bisa menyaingi, Jakarta.

Taruhlah rasanya tidak pas jika Medan diajak berpacu melawan kota yang sudah "kelas berat", tapi keberhasilan sebuah kota tentu saja bukan diukur melalui banyaknya mal modern bukan? Dewasa ini, banyak warga Medan yang merasa bangga atau sekaligus terhormat ketika diserbu oleh berbagai mal modern yang menawarkan gaya hidup se-jet set Jakarta.

Menjadi mitos tersendiri bahwa kehadiran mal dianggap sebagai peradaban yang lebih maju atau simbol metropolis. Mal memang memboyong sejumlah franchise tenant yang citranya lekat dengan lifestyle kontemporer atau dalam bahasa sehari-hari disebut bergengsi. Hemat penulis, kalau begitu, pastilah kemacetan juga dianggap sebagai simbol modernitas karena esensinya adalah makin banyak masyarakat yang sanggup dan menikmati taraf hidup bermobil. Alhasil, volume ruas jalan pun tak mampu lagi membendung serbuan para kuda besi.

Ngomong-ngomong, tampaknya pemilihan Walikota Medan untuk periode 2015-2020 kian menghangat saja. Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution dan Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma telah sah menjadi pasangan calon yang berhak berlaga di Pilkada Desember nanti. Penulis agaknya tergelitik melihat apakah ada calon yang berani blak-blakan membahas "status lepas landas" bertajuk Medan Menuju Metropolitan kini hanya sayup-sayup terdengar.

Penulis tidak sedang menggugat soal apakah benar Medan itu kota metropolitan atau tidak. Bisa jadi Medan memang kota metropolitan. Setidaknya itu yang tercermin dari "prestasi" Adipura yang didapat Medan medio Juni tahun lalu di kategori kota metropolitan.

Tapi, jika kita bandingkan dengan kota-kota metropolis di mancanegara, katakanlah Singapura dan Kuala Lumpur, mari jujur bertanya, berapa banding berapa jika Medan diadu head-to-head dengan mereka? Taruhlah tidak adil mempertarungkan Medan dengan kota selevel capital city. Kalau begitu, bagaimana jika Medan disandingkan dengan Penang yang sempat menjadi sister city? Dan, bukankah telah ada sekian persen warga Medan yang pernah atau reguler bertandang ke Penang? Cukup adil bukan?

Api, ah, daripada terlalu ngoyo mempertandingkan Medan dengan kota-kota di atas, ada baiknya penulis bersama pembaca budiman berkeliling sejenak ke beberapa titik inti kota Medan dan mari lihat adakah hal-hal yang masih perlu kita keluhkan kepada Pemerintah Kota Medan?

Alih-alih membicarakan perkembangan atau pembangunan yang berarti, tampaknya mata masyarakat Medan lebih menyolok masih adanya infrastruktur mendasar yang tidak dipenuhi di Medan. Memang, Medan baru saja membidani kelahiran flyover atau jalan layang di Simpang Pos dengan rentang waktu yang terbilang singkat jika dibandingkan flyover Brayan. Salut, tapi apakah PR sudah selesai? Oh, betapa terhenyak ketika penulis melintasi Jalan Sutomo Ujung hingga permulaan Jalan Krakatau. Kendaraan warga Medan menempuh jalan yang kurang "beradab" alias berlobang-lobang akibat sisa galian yang tidak jelas-jelas amat juntrungannya.

Penulis memang akan selalu memaafkan para pekerja galian karena selalu terbaca papan bertuliskan "Mohon maaf, sedang ada galian." Tapi, masalahnya tidak selesai sampai di situ. Memang penulis jelas tidak punya kompetensi menyelesaikan urusan demikian, tapi tidak berarti dilarang mengeluh bukan?. Andai kata-kata dalam hati para pengguna jalan bisa terlihat di angkasa, barangkali sudah terjadi polusi udara di sekitaran situ. Dan, sebagai masyarakat taat pajak dan retribusi, tidak patutkah pengguna jalan mengeluh? 

Dan tidak berlebihan juga jika penulis memiliki firasat bahwa arah pembangunan di Medan cenderung digerakkan oleh mal dan perumahan kolosal. Kehadiran pembangunan swasta macam ini memang bisa mengubah peta penyebaran penduduk atau pengumpulan konsentrasi pemukiman. Pembangunan swasta seperti antara menargetkan pasar/massa yang sudah ada atau jika tidak ada pasar yang bisa dibidik, mengapa tidak menciptakan sendiri yang baru? Bukankah Medan adalah target empuk bagi bedol desa.

Jika boleh dan diperkenankan, baiklah Pemerintah Kota Medan berbaik hati menjelaskan secara baik dan transparan kepada masyarakatnya yang awam ke mana arah pembangunan kota tercinta ini. Janganlah sampai masyarakat merasa apatis dengan kota yang sering dibilang kota autopilot ini. Julukan ini tentu saja bukan karena semuanya serba terotomasisasi via perangkat elektronik yang canggih. Tetapi, kota yang secara ajaib bisa berprinsip business as usual walau sempat tidak ada walikota dan/atau wakil walikota. Tidak ada gejolak seperti kehilangan pemimpin daerah atau jangan-jangan sudah terbiasa dan tanpa sadar tidak merasa memerlukan sentuhan pemimpin daerah? Ah, ironis!

Belakangan, memang ada kabar baik yang menyapa Medan, yaitu soal kelistrikan. Akhirnya, genset yang dibeli dengan terpaksa kemarin bisa sejenak dikandangkan. Medan tidak lagi diserang oleh penyakit byar pet alias mati lampu. Tidak ada yang tahu persis kapan tiba-tiba gejala ini berhenti. Yang pastinya, Medan sudah tidak perlu lagi menelan "pil" mati lampu 3x sehari. Tapi, jika dipikir-pikir lagi, tidak ada yang berani menjamin bukan jika di masa yang akan datang Medan akan benar-benar terbebas dari belenggu rantai mati lampu bergilir. 

Apakah keluhan penulis sampai di situ? Ah, sayangnya tidak. Jika pun ditulis secara ringkas tentang penyakit Medan, kolom media massa manapun belum tentu bisa memuatnya. Yang pastinya, masalah yang ada di depan hidung masyarakat Medan dan juga hidung para pejabat Medan tidak jauh-jauh dari banjir nggak ketulungan, got mampet, sampah yang tak kunjung bersih, birokrasi "ular tangga" (bisa cepat naik, bisa turun cepat), jalanan berdebu, pokoknya tumplek blek aneka penyakit khas kota di Indonesia di Medan.

Entah jika para pejabat di Medan pernah terpikir, apakah warga Medan tidak stres menghadapi ganasnya kota sendiri? Atau paling tidak, masakan pejabat sendiri tidak pernah kesal menempuh jalanan yang menggoda kita untuk mengeluarkan aneka sumpah serapah?

Secara satir, penulis merasa perlu menguatkan hati masyarakat Medan yang tampaknya terlalu lama dan keseringan didera berbagai ekses negatif dari kealpaan pemangku kepentingan. Masyarakat Medan adalah masyarakat yang telah lulus ditempa oleh aneka persoalan perkotaan. Didikan yang cukup keras ini telah dienyam sekian tahun dan entah karena pasrah atau masih menyimpan harapan, masyarakat Medan tetap tidak pernah enggan mengakui dirinya sebagai "Orang Medan" atau "Anak Medan" di hadapan masyarakat kota-kota lainnya. Belum tentu orang kota lain bisa bertahan hidup di Medan yang demikian "keras".

(analisadaily.com)
Opini
Berita Terkait
  • Kamis, 18 Apr 2024 15:19

    Pelatihan Vokasi Juru Las PHR Jadikan Pemuda Riau Siap Kerja

    Pekanbaru- Sebanyak dua puluh pemuda asal Riau mengikuti program Pelatihan dan Sertifikasi Juru Las (Welder) di Balai Latihan Kerja (BLK) Kementerian Tenaga Kerja RI, di Serang, Banten. Para peserta t

  • Kamis, 18 Apr 2024 13:49

    Diacara Halal Bihalal, Bupati Bengkalis Deklarasi 2 Periode

    BENGKALIS - Bupati Bengkalis Kasmarni mendaklarasikan bahwa dirinya akan maju pada Pilkada Bengkalis 2024, sebagai Calon Bupati untuk periode kedua.Hal itu disampaikan Bupati Bengkalis Kasmarni saat m

  • Kamis, 18 Apr 2024 13:43

    Gelar Halal Bihalal, Bupati Bengkalis Ajak Semua Komponen Tingkatkan Kekompakan Dalam Melayani Masyarakat

    BENGKALIS - Pemerintah Kabupaten Bengkalis menggelar Halal bihalal sempena Hari Raya Idul Fitri 1445 H bersama masyarakat dan Forkopimda, Kamis, 18 April 2024 di lapangan Tugu Bengkalis.Bupati Kasmarn

  • Kamis, 18 Apr 2024 13:35

    Bupati Bengkalis Serahkan Hadiah Festival Lampu Colok dan Pawai Takbir

    BENGKALIS - Bupati Bengkalis Kasmarni menyerahkan penghargaan kepada pemenang lomba lampu colok dan pawai takbir tahun 2024.Penyerahan penghargaan tersebut sempena Halal bi Halal Pemerintah Kabupaten

  • Kamis, 18 Apr 2024 11:16

    Diacara Halal Bihalal, Kasmarni Jawab Pertanyaan Warga Tentang Pencalonannya

    Kasmarni Deklarasi Maju Kembali di Pilkada BengkalisBENGKALIS -Bupati Bengkalis Kasmarni mendeklarasikan niatnya kembali maju sebagai calon Bupati pada Pilkada Kabupaten Bengkalis Tahun 2024.Hal itu d

  • komentar Pembaca

    Copyright © 2012 - 2024 www.spiritriau.com. All Rights Reserved.