Sabtu, 20 Apr 2024
  • Home
  • Ekbis
  • Petani Pesimis Food Estate Ampuh Atasi Krisis Pangan Indonesia

Petani Pesimis Food Estate Ampuh Atasi Krisis Pangan Indonesia

Admin
Senin, 26 Okt 2020 10:32
liputan6.com

Jakarta - Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak pembangunan food estate atau lumbung pangan. Menurut SPI, dengan konsep ini, produksi pangan di Indonesia akan tergantung dan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.

Ketua Umum SPI Henry Saragih menyatakan, food estate akan membutuhkan investasi besar yang menghabiskan keuangan negara. Padahal, Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan bahwa justru petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) lah yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian.

"Food estate tidak bisa jadi solusi atas ancaman krisis pangan yang dikhawatirkan muncul akibat pandemi ini," kata Henry dalam keterangannya, Senin (26/10/2020).

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori membeberkan rencana pembangunan serupa yang tidak pernah terealisasikan. Dulu, program 1 juta hektare lahan gambut di tahun 1995 dinilai gagal.

Rencana pencetakan lahan ini ialah seluas 1.457.100 hektare dan dibagi lima daerah kerja. Selama 2 tahun anggaran (1996/1997-1997/1998), baru 31.000 hektare saja yang telah dibuka dan ditempati 13.000 KK transmigran. Lalu tanah seluas 17.000 hektare juga sudah dibuka dan belum ditempati.

Kemudian, Khudori melanjutkan, food estate tahun 2012 di Bulungan juga gagal dari rencana 298.221 hektare yang direncanakan. Luas lahan yang dicetak sesuai laporan pemerintah hanyalah 1.024 hektare dan yang berhasil ditanami hanya 5 hektare.

"Food estate Ketapang, tahun 2013 juga gagal. Tercatat ada potensi 886.959 hektare lahan. Tapi Pemda Ketapang hanya berani manargetkan penyediaan 100.000 hektare. Dua tahun berjalan, hanya 104 ha atau 0,1 persen dari target 100.000 hektare yang bisa ditanami dengan hasil beragam yakni 2,77 - 4,69 ton GKP per hektare," lanjut Khudori.

Khudori menjelaskan, penyebab kegagalan tersebut salah satunya adalah pola kemitraan korporasi-petani selalu diwarnai konflik kuasa atas tanah. Belum lagi tenaga kerja yang dibawa untuk melakukan program food estate mengalami kerawanan pangan.

Di Merauke, katanya, program food estate Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digadang-gadang akan mengelola 1,23 juta hektare tanah, saat ini hanya bertahan 400 hektare dan dikelola oleh PT Parama Pangan Papua (anak usaha Medco), bermitra dengan petani lokal.

"Penyebabnya adalah transmigran yang menjadi tenaga kerjanya hanya menjadi penopang ekspansi agribisnis, hidup tak membaik, hak tanah tak jelas dan rawan pangan. Selanjutnya, penyamarataan basis pangan beras membuat kualitas hidup warga lokal menurun dan akibatnya jadi rawan pangan juga," ujar Khudori.

Sumber: liputan6.com

komentar Pembaca

Copyright © 2012 - 2024 www.spiritriau.com. All Rights Reserved.