



Insiden ini menjadi tamparan untuk kesekian kali buat institusi hukum khususnya buat lapas kita. Padahal awal bulan Mei, peristiwa serupa juga terjadi di Riau. 488 penghuni lapas kabur dari rutan Kelas IIB Pekanbaru, Riau, tepat pada saat shalat (Jumat, 5/5). Itu merupakan insiden terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Gerombolan napi tersebut berhamburan ke luar dengan memanfaatkan suasana rusuh yang diduga merupakan akumulasi kekecewaan yang telah disampaikan para tahanan dengan unjuk rasa. Tahanan berteriak-teriak keluar dari kamar II B hingga mendobrak salah satu pintunya, dan keluar seperti anak ayam yang terlepas dari kandang. Sama seperti di Palembang, diduga tahanan kabur karena rutan kelebihan kapasitas. Rutan Pekanbaru hanya memiliki 361 ruang namun dihuni 1.800 tahanan.
'Pelayan napi'
Kita tentu menyayangkan, kaburnya napi seolah sudah menjadi trend akhir-akhir ini. Ketika para napi di salah satu penjara di Amerika (Country Jail No.5) berlomba-lomba mendesain ruang penjara yang artistik, para napi di sini justru berlomba-lomba merusaki ruang penjara supaya bisa kabur dan terhindari dari hukuman. Para napi memperlihatkan perilaku pembangkangannya terhadap hukum dengan berani. Ketaatan terhadap konsekuensi kejahatan yang mereka lakukan seolah-olah kalah oleh kesemena-menaan berbalut barbar.
Apakah ini menunjukkan proses pembinaan di lapas kurang efektif? Alih-alih berharap pembinaan di penjara berjalan bagus, konon yang terjadi malah sebaliknya para sipir sudah menjadi 'pelayan' bagi para napi. Artinya ada 'kultur transaksi' di penjara yang kemudian menghadirkan berbagai 'bisnis yang menggiurkan'. Bayangkan saja, setelah masuk penjara dan ditaruh di tempat penampungan, untuk bisa masuk sel, seorang napi di sebuah kota besar harus membayar Rp 2,5- Rp 7 juta. Jika tidak, ia akan tetap berada di tempat penampungan dengan segala risiko: tak bisa mandi, tidak makan berhari-hari, rentan disiksa dan lain sebagainya. Keluarga yang ingin membesuk napi juga harus membayar.
Yang tak kalah menyesakkan, menurut investigasi salah sebuah media nasional di Rutan Pekanbaru baru-baru ini, untuk minum air saja, susahnya minta ampun karena jumlah penghuni lapas sudah overkapasitas. Akibatnya mereka harus membeli air minum galon yang harganya Rp.50 ribu. Begitupun dengan makan sehari-hari, untuk bisa makan yang wajar, mereka terpaksa datang membeli di kantin penjara dengan harga tiga kali lipat. Susahnya menjalani hukuman, membuat para napi seakan dipaksa untuk mengembangkan intuisi 'hukum rimba' dalam penjara. Bagi yang punya uang, bisa pindah ke sel yang lebih manusiawi, seperti sel untuk napi korupsi yang jumahnya tak terlalu berjubel, itu pun setelah membayar. Mungkin itu sebabnya, para koruptor setiap saat bertambah jumlahnya di republik ini karena mereka tidak terlalu cemas jika akan dijebloskan ke penjara, berhubung mereka sudah disediakan fasilitas tahanan yang 'mewah'. Sedangkan untuk napi yang pas-pasan, agar bisa bertahan hidup dan punya uang untuk membayar biaya hidup yang mahal di penjara, tak sedikit dari mereka yang akhirnya menggeluti bisnis haram, seperti terlibat dalam sindikat jual-beli narkoba. Itu sebabnya angka peredaran narkoba di penjara juga dari waktu ke waktu kian bertambah seiring terbongkarnya jaringan narkoba di berbagai penjara. Maka tak heran jika Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Iwayan Dusak mengatakan setengah penghuni lapas merupakan terpidana kasus narkoba (Tempo.co 28/3/2016).
Belum lagi diskriminasi hukuman yang tak kalah maraknya dan seolah dianggap wajar dalam belantara hukum kita. Misalnya ada napi pengedar uang palsu dihukum bisa sampai 4-5 tahun, sementara yang korupsi milyaran rupiah cuma diganjar 2-3 tahun. Praktek pungli bisa bebas terjadi untuk meringankan hukuman seseorang, asal lancar setor.
Cerita di atas adalah salah satu potret lusuhnya penegakan hukum di negeri ini. Setiap keputusan ditentukan oleh uang pelicin atau uang administrasi, bukan berdasarkan kebutuhan manusia (Nugroho & Hanurita 2005). Akibatnya, lembaga hukum semakin kehilangan kewibawaannya. Lapas yang diharapkan menjadi tempat pendidikan atau pembinaan, rehabilitasi dan integrasi napi, justru menjadi tempat reproduksi benih-benih kejahatan, termasuk melakukan pemberontakan. Di sisi lain, ekosistem penjara yang tidak manusiawi dan justru dijadikan lahan bisnis, membuat nilai-nilai keadilan semakin langka ditemui di situ.
Dulu penjara didesain oleh fil suf Inggris Jeremy Bentham dengan model panopticon yakni penjara dengan desain struktur melingkar dengan rumah inspeksi di pusatnya, tempat bagi para sipir mengawasi ruang-gerak tahanan. Dengan struktur yang melingkar tersebut tiap tahanan akan saling mengawasi diri mereka. Bahkan sekalipun tak ada yang mengawasi, dengan model panopticon tersebut, tiap orang lama-kelamaan akhirnya menginternalisasi dalam dirinya suatu rasa diawasi atau dimata-matai terus-menerus.
Tak mempan
Metode panopticon memang dinilai berhasil pada saat itu karena mampu melahirkan kewaspadaan internal para napi untuk tidak berbuat aneh-aneh apalagi mencoba kabur. Namun seiring berjalannya waktu, ketika monetisme dan kreatifitas kejahatan makin canggih, dan tingginya kebutuhan uang di lingkungan penjara, metode tersebut tak mempan lagi. Maraknya aktifitas pungli atau suap-menyuap di penjara telah ikut menyuburkan pembangkangan terhadap etika, moral dan kesadaran hukum.
Para napi tak takut mengambil pilihan brutal, kabur beramai-ramai dengan merusak fasilitas tahanan karena di mata mereka, wajah hukum sudah tak bisa dipercaya lagi alias penuh ketidakadilan. Menurut mereka kepala rutan dan para sipir juga tak ubahnya sebagai 'pelayan' bagi para pemilik duit.
Belum lagi minimnya kapasitas dan profesionalisme mereka sebagai petugas yang mengedukasi dan membina para napi, karena kebanyakan mereka direkrut tanpa pendidikan dan pelatihan khusus.Padahal pekerjaan sipir cukup berat.
Mereka bukan menjaga barang mati, tapi manusia, yang martabat dan kemanusiaannya perlu dilindungi meskipun mereka orang pesakitan. Rasio sipir dengan napi ketika melakukan penjagaan sejauh ini rata-rata adalah 1 banding 50, artinya satu orang sipir harus menjaga 50 orang napi. Bahkan satu blok di Lapas Cipinang yang dihuni 400 orang kadang hanya dijaga satu orang sipir. Itu di Ibu Kota, bagaimana dengan lapas yang ada di daerah-daerah? Tentu lebih runyam.
Wajah hukum akan makin penuh bopeng, jika insiden kaburnya napi di berbagai daerah dianggap sesuatu yang wajar. Apalagi jika napi itu adalah napi narkoba yang dianggap sebagai penghancur masa depan generasi bangsa.
Overkapasitas penjara harus disikapi dengan kebijakan tegas dan konkret, dengan menambah jumlah rutan secara bertahap, termasuk juga merevisi model perekrutan sipir agar benar-benar diperoleh sipir yang terampil dan berdedikasi. Konsekuensinya mereka harus dipikirkan kesejahteraannya secara serius, sebaliknya, sipir yang melanggar hukum, harus diberikan sanksi tegas, bukan sekadar sanksi administrasi, namun bila perlu dipecat saja.
Sudah saatnya pemerintah mengedepankan pola restoratif justice dalam pengadilan sehingga tak harus semua kejahatan berujung di penjara. Untuk pelaku kejahatan ringan, cukup dilakukan pembinaan yang terukur. Sistem hukuman seperti kerja sosial (membersihkan parit, gedung pemerintah atau bahkan arak-arakan di jalanan ramai untuk memunculkan syahwat malu pelaku kejahatan) sudah saatnya diberlakukan untuk skala kejahatan tertentu. Selain itu, perlu ada kajian kembali terhadap undang-undang atau perda yang mengandung pidana. Saat ini ada sekitar 100 UU dan perda yang mengandung pidana yang menjadi 'kontributor' pertambahan jumlah napi di penjara. Kalau hal tersebut bisa dikurangi, paling tidak bisa merem membeludaknya penghuni penjara. ***
Penulis adalah Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM
sumber:analisadaily.com